#CeritaHariIni : Budaya Pendidikan Baru atau Lama yang Baru Terasa
Halo, di postingan
kali ini mungkin aku akan bercerita dengan gaya yang beda. Yep, pake “aku”
karena tulisan ini membuatku sedikit mellow #EAAAA. Jadi singkatnya, aku duduk
di bagian belakang kelas (biasanya tengah atau depan). Kali ini agak telat
sedetik masuk kelasnya jadi yaudah. Sedikit disclaimer, walaupun udah 1,5 tahun
kuliah, aku masih belum bisa membedakan guru dan dosen. Aku masih menyamakan
segala hal tentang dosen atau guru ideal. Tapi sebenarnya postingan ini gak
berhubungan sama guru ataupun dosen si WKWKWKWK rada ga nyambung setitik gak
apa – apa lah ya.
Jadi ini di mulai dari
kelas yang atmosfernya capek – capek ngantuk karena udah kelas dari jam 8 dan
ini kelas jam 4 sore yang bakalan
selesai sampe jam 18.30. Belum lagi hawa
– hawa bumi yang baru di guyur hujan, adem -
adem seger. Kelas yang AC nya bejibun padahal mahasiswa di dalemnya
cuman 42 orang. Kita udah nunggu setengah jem tapi dosen belum masuk Akhirnya
jam 5 kurang sedetik, dosennya masuk. Oke, dosennya bapak – bapak, udah lumayan
tua, suaranya ga menggelegar (cenderung kecil suaranya) dan mic kelas rusak
:’)) bayangkan. Sebagai manusia biasa yang gak ada super – supernya, kelas itu
bagai cobaan.
Setengah jam pertama,
kelas kondusif. Lama kelamaan, peer group yang duduk depan ku, mulai ribut.
Buka hape, buka snapgram, mencoba snapgram (fitur bagi – bagi video di
instagram) dengan filter kelinci ke bapaknya, jatohin ini itu, ambil ini itu,
ketawa ini itu, banyak lah. Bahkan sampe ada yang TES MATA. Imagine, dia buka
kaca matanya, terus dia menghadap ke jendela sambil bergantian nutup matanya.
Semua kegiatan ini dilakukan ketika bapaknya lagi ngomong selancar – lancarnya
di depan. Dia gak duduk loh, dia berdiri di tengah – tengah kursi depan (supaya
lebih dekat ke mahasiswa karena kelasnya lumayan besar). Dia melempar joke –
joke scientific supaya kelas menarik. Dia berusaha membesarkan suaranya supaya
lebih di notice tapi berakhir dia batuk – batuk.
Yang aku rasakan?
Sedih. Sedih karena membayangkan bapakku di depan. Berusaha mengajar dengan apa
yang bapakku punya (suara pas – pasan, joke yang gak kekinian), tapi
pemandangan di depannya kacau. Bapaknya pasti mendengar dan melihat karena
jelas banget itu di depan bapaknya. Bapaknya berusaha membuat kelas kondusif
dengan memberitahu joke atau bercerita tentang kakak kelas yang menemukan enzim
untuk menyatukan daging suir menjadi daging utuh. Tapi tetap………. Kelasnya
seperti itu. Lalu, apa yang aku lakukan? Berusaha memperhatikan. Yah walaupun
kecolongan beberapa kali melihat hape atau ngobrol sedetik untuk membuat mata
seger lagi. Tapi tep aja…. Aku gak mau bilang kalau aku better dari mereka atau
yang mereka lakukan benar atau aku salah atau apalah ya berdasarkan teori
budaya dan apalah itu. Tapi dari sisi prinsip hidup yang aku pegang, mereka
gimana gitu. Apa memang seperti ini normal? Atau kejadian seperti ini udah ada
dari zaman dahulu kala universitas di ciptakan? Atau kejadian ini memang…..
baru?
Memang sepertinya
ketahanan mendengar generasi ku makin berkurang. Aku sendiri mengalami saat aku
berusaha untuk menjelaskan tentang organisasi yang aku ikuti. Jadi ceritanya,
untuk bisa “pass”, mereka harus mendapat cap di buku yg mereka bawa. Tapi apa?
Mereka cuman ngeletakin bukunya di depanku terus pergi terus cerita –
cerita…………… Padahal idealnya mereka harus mendengarkan penjelasan dulu. Bukan
kemampuan mereka yang kurang, tapi endurance mereka buat mendengar kurang.
Jujur aja, anak – anak seperti mereka makin buat ku tidak se-wow itu dengan
universitas ku yang sekarang WKWKWKW anak – anak seperti itu selalu ada di
setiap angkatan dan selalu mereka yang jadi pentolan. I don’t know the standard
in here tapi ya mungkin mereka punya banyak ++ selain masalah ketahanan
mendengar mereka.
Back to my story.
Sebenarnya storynya itu aja si. Kelas akhirnya dibubarkan karena bapaknya
kelihatan bingung mau jelasin apa karena kelas udah amburadul pengen kelar
semua. Padahal bapaknya baik loh :’) nurut aku ya. Dosen yang mau ngajar jam 4
– 18.30 itu hebat. Jam segitu jam keluarga dan jam capek. Dengan ilmu sebanyak
itu, kalau bukan didasari oleh motivasi “mau membagi ilmu”, gak bakal mau sih
buat memperjuangkan kelas segitunya buat jam 4 – 18.30 (memperjuangkan = suara
berusaha digedein, bikin joke dll). Aku cuman berharap, banyak individu muda
yang masih mau bertahan dengan alasan respect pada orang tua. Entahlah. Coba
saja bayangkan kamu di posisi beliau J
Komentar
Posting Komentar